Foto Ferry Is Mirza
No Ferry No Happy
Catatan Ahad Siang
8 Desember 2024
@lapakdogadopujaserapdkmutiarasjo
by Ferry Is Mirza - FIM narsumRTB
Di NEGARA KITA INDONESIA, salahsatu fenomena yang semakin sering diperbincangkan adalah *"Parcok" atau "Partai Coklat"* sebuah metafora menggambarkan aparat penegak hukum yang menyalahgunakan kekuasaan mereka, ketika proses pemilu. Parcok mencerminkan kenyataan di mana aparat hukum yang seharusnya berperan sebagai penjaga netralitas justru ikut berkecimpung dalam dinamika politik, menggunakan wewenang mereka untuk mendorong preferensi pemilih ke arah kandidat tertentu.
Dalam sistem demokrasi, aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan lembaga terkait lainnya diharapkan memiliki peran untuk menjaga netralitas, memastikan proses yang jujur, dan melindungi hak setiap individu dalam berpolitik.
Namun, di negara kita Indonesia, fenomena Parcok mengindikasikan bahwa aparat hukum sering kali berada di pihak tertentu. Mereka mungkin mengkriminalisasi lawan politik atau menekan kandidat oposisi melalui proses hukum yang tidak adil. Sekarang mereka memperluas peran dengan mengintimidasi atau mengiming-iming tokoh masyarakat, membagikan bantuan sosial negara, dan mengerahkan preman untuk menakuti rakyat. Aparat yang seharus menjaga pemilu agar jujur adil justru menyimpangkannya.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang otonomi lembaga penegak hukum dan sejauh mana mereka dapat berfungsi tanpa campur tangan politik. Selain itu, Parcok menciptakan ketidakadilan struktural dalam proses pemilu yang pada dasarnya menghilangkan kesempatan yang setara bagi setiap kandidat untuk bersaing.
Intervensi logika eksternal (politik dan ekonomi) kepada logika hukum di institusi kepolisian menyebabkan institusi itu kehilangan fokus fungsi utamanya dan memicu krisis identitas. Krisis itu mengakibatkan sebagian aparat tidak lagi memahami dengan jelas standar moral atau profesional yang harus diikuti. Kasus Sambo, polisi tembak polisi, polisi tembak siswa, polisi melindungi penambangan liar, penembakan laskar FPI, polisi terlibat sindikat narkoba, dsb, menunjukkan kepolisian tidak konsisten dengan misinya sebagai penjaga hukum, ketidaksesuaian antara tindakan di lapangan dan nilai dasar institusi, ketidakseimbangan antara tugas melindungi masyarakat dan menjaga ketertiban dengan hak asasi manusia, dsb.
Dampak Sosial dari Fenomena Parcok
Fenomena Parcok tidak hanya berdampak pada tatanan hukum, tetapi juga pada struktur sosial dan dinamika masyarakat secara keseluruhan. Keterlibatan aparat hukum dalam pemilu untuk mendukung kepentingan politik tertentu menyebabkan penurunan kepercayaan publik terhadap institusi hukum. Rakyat menyaksikan bagaimana hukum diperalat untuk menguntungkan pihak-pihak yang berkuasa, yang pada gilirannya menciptakan apatisme dan ketidakpercayaan terhadap proses pemilu.
Kedua, dalam sebuah demokrasi, pemilu yang bebas dan adil adalah salah satu prinsip fundamental. Ketika aparat penegak hukum ikut campur dalam pemilu untuk memihak satu pihak, integritas demokrasi menjadi dipertanyakan. Fenomena Parcok mengarah pada pemilu yang prosedural tetapi kehilangan substansinya, karena tidak ada jaminan bahwa semua kandidat bersaing dengan peluang yang setara.
Ketiga, keberpihakan aparat hukum pada pihak tertentu dalam pemilu sering kali mengarah pada polarisasi di tengah masyarakat. Mereka yang merasa dirugikan oleh ketidakadilan hukum akan semakin terpecah dengan kelompok yang mendapat keuntungan. Fenomena ini hanya memperburuk hubungan sosial dan menciptakan ketegangan horizontal yang terus meningkat.
Perlukah Mengembalikan Kepolisian ke-Kendali Kemendagri ?
Kepolisian membutuhkan independensi, yaitu kemampuan untuk menjalankan tugas dan fungsinya bebas dari pengaruh atau campur tangan pihak eksternal, terutama kekuasaan politik, ekonomi, atau kelompok tertentu, sehingga dapat bertindak sesuai dengan prinsip hukum, etika profesional, dan kepentingan masyarakat secara adil.
Meletakkan kepolisian di bawah Presiden atau Kemendagri tidak akan memperbaiki independensi. Sebaliknya justru, hal itu akan meningkatkan risiko politisasi, konflik kepentingan, dan ketergantungan struktural. Kepolisian mesti ditempatkan sebagai lembaga independen. Dengan independensi, kepolisian dapat menjalankan hukum tanpa memihak, agar bisa memberikan keadilan yang setara kepada semua pihak. Jika kepolisian independen, ia tidak akan digunakan sebagai alat politik untuk menyerang lawan atau melindungi sekutu politik. Kepolisian yang independen dapat lebih efektif melindungi hak-hak masyarakat tanpa tertekan oleh kekuasaan politik atau ekonomi. Masyarakat pun akan lebih percaya pada institusi kepolisian yang netral dan profesional, sehingga menciptakan hubungan yang lebih harmonis antara aparat dan warga.
Menciptakan Kepolisian yang Independen
Kepolisian yang independen bertanggung-jawab (akuntabel) kepada kepada hukum dan masyarakat melalui pengawasan eksternal yang efektif. Ini akan memastikan bahwa kepolisian dapat menjalankan tugasnya secara profesional, netral, dan transparan.
Jadi ada 4 elemen penting independensi kepolisian.
Pertama, otonomi operasional. Ini berarti kepolisian memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan operasional tanpa intervensi dari eksekutif, legislatif, atau pihak lain. Sebagai contoh, penyelidikan kasus kriminal tidak boleh dipengaruhi oleh tekanan politik atau ekonomi.
Kedua, netralitas dimana kepolisian harus bersikap netral dalam menjalankan tugasnya, tanpa memihak pada kelompok politik, agama, atau ekonomi tertentu. Netralitas memastikan penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif.
Ketiga, Akuntabilitas, yaitu kepolisian bertanggung jawab kepada hukum, masyarakat, dan badan pengawas yang netral. Transparansi dan mekanisme pengawasan eksternal diperlukan untuk memastikan bahwa independensi tidak disalahgunakan.
Dan, keempat profesionalisme yang menekankan bahwa keputusan dan tindakan kepolisian harus didasarkan pada hukum, fakta, dan keahlian profesional, bukan pada kepentingan politik atau pribadi.
Fenomena Parcok menggambarkan persoalan mendasar dalam sistem hukum dan politik di Indonesia, di mana aparat hukum tidak dapat menjalankan fungsi utamanya karena intervensi politik. Dengan menggunakan perspektif sistem, kita dapat melihat bahwa gangguan diferensiasi fungsional dan intervensi politik menyebabkan disfungsi pada sistem hukum, yang pada gilirannya menggerus kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu dan prinsip-prinsip demokrasi.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi struktural yang memperkuat diferensiasi antara sistem hukum dan politik, memastikan otonomi dan independensi lembaga penegak hukum, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya proses pemilu. Hanya dengan cara ini, kita dapat mengembalikan keadilan dan netralitas dalam proses demokrasi, serta menjaga agar hukum tetap berfungsi sebagaimana mestinya sebagai penjaga keadilan, bukan alat kekuasaan.
Sudah saatnya hukum di Indonesia kembali ke jalur yang benar, demi demokrasi yang lebih baik dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
*In sya Allah bermanfaat* fimdalimunthe55@gmsil.com