Menjaga Marwah dan Martabat Pers

Foto Ferry Is Mirza

Artikel / Opini

oleh Ferry Is Mirza 

Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur

Setiap tanggal 9 Februari merupakan Hari Pers Nasional (HPN). Untuk HPN tahun 2025 ini dan perayaan ke 79 tahun PWI (Persatuan  Wartawan Indonesia) digelar di dua daerah. Di Pekanbaru, Riau diselenggarakan oleh PWI hasil KLB yang ketuanya Zulmansyah  Sekadang. Sedang HPN di Banjarbaru, Kalsel, digelar oleh PWI pimpinan Hendry C Bangun.

Meski ada dua versi PWI, kalangan wartawan berharap marwah dan martabat organisasi tetap terjaga. Profesi wartawan memiliki standar etik dan independensi yang dilindungi UU Pers no 

Nomor 40 Tahun 1999. Undang-undang ini mengatur prinsip, ketentuan, dan hak- hak penyelenggara pers di Indonesia.

Di berbagai daerah, masih ditemukan individu yang merangkap wartawan sekaligus pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Praktik ini tidak hanya melanggar etika, tetapi juga mencederai integritas profesi jurnalistik yang seharusnya bebas dari kepentingan lain.

Fenomena ini semakin meresahkan ketika di lapangan, individu yang mengaku sebagai wartawan juga membawa kartu identitas LSM. Mereka beralih peran sesuai situasi—kadang sebagai wartawan, kadang sebagai aktivis. Hal ini berpotensi menyesatkan publik, menciptakan konflik kepentingan, serta merusak kepercayaan terhadap dunia jurnalistik.

Kode etik profesi harus dijaga. Wartawan memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang, sementara LSM bergerak dalam advokasi dan kepentingan tertentu. Tidak boleh ada duplikasi peran, karena wartawan yang juga bertindak sebagai aktivis akan kehilangan netralitasnya.

Dewan Pers telah secara tegas melarang wartawan merangkap sebagai pekerja LSM. Ketua Komisi Pengaduan dan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, menegaskan bahwa wartawan harus menjalankan tugasnya dengan independensi penuh, tanpa terikat dengan kepentingan advokasi atau agenda tertentu.

Wartawan diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan tidak boleh bertindak sebagai pekerja LSM. Ini pelanggaran serius yang mencederai profesionalisme dan kepercayaan publik terhadap pers.

Aturan mengenai larangan ini telah tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/III/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Regulasi tersebut menegaskan bahwa wartawan harus bebas dari kepentingan di luar kerja jurnalistik. Mereka tidak boleh terlibat dalam aktivitas advokasi atau menjalankan misi yang bertentangan dengan prinsip jurnalistik.

Maraknya oknum LSM yang mengaku sebagai wartawan kini menjadi keresahan tersendiri di kalangan jurnalis. Banyak wartawan profesional merasa profesi mereka dirusak oleh oknum yang menyalahgunakan label “wartawan” untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Ada yang menggunakan identitas pers untuk menekan pihak tertentu, mengaku melakukan investigasi jurnalistik, padahal sejatinya mereka berperan sebagai aktivis atau bahkan alat kepentingan tertentu.

Ini bukan sekadar fenomena, tapi sudah menjadi ancaman bagi kredibilitas pers. Banyak pihak yang dirugikan, mulai dari narasumber yang mendapat tekanan, hingga media yang citranya hancur akibat ulah oknum tak bertanggung jawab.

Lebih parah lagi, beberapa kasus menunjukkan bahwa oknum LSM yang mengaku wartawan sering kali melakukan intimidasi terhadap narasumber demi kepentingan tertentu. Padahal, prinsip utama jurnalistik adalah verifikasi, keberimbangan, dan objektivitas. Jika wartawan bertindak seperti aktivis, maka kepercayaan publik terhadap media akan terus menurun.

Untuk mencegah semakin rusaknya profesi jurnalis, Dewan Pers mengimbau media untuk memperketat pengawasan terhadap wartawan mereka. Wartawan sejati harus menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan memastikan bahwa profesinya tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Jika tidak, maka jurnalisme yang sejatinya menjadi pilar demokrasi justru akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Lebih baru Lebih lama
Radar Argopuro com