Foto Ferry Is Mirza
by FIM Ferry Is Mirza Kamis 15.15 Wib @puriindahsjo
Artikel DI (Dahlan Iskan) di Disway Kamis (10/4) pagi yang mengurai perpecahan P1 dan P2 (sebutan Bupati dan Wakil Bupati Jember) menurut saya salah kaprah. Maklum DI orang Magetan memang bukan orang Jember. Beda dengan penulis yang sejak jaman Bupati Supono, Suryadi Setyawan, Priyanto Wibowo dan Winarno (1994) pernah tinggal di Jember dan jadi Kabiro Jawa Pos 95-97 berkantor di Gladak Kembar. Sampai dikaruniai dua anak lahir di Jember tahun 82 dan 84. Penulis juga aktivis KNPI, AMPI dan Pendiri Mapancas serta Pemuda Pancasila, juga ikut masuk dalam gelanggang politik Pilkada di Jember.
Wajar, bila DI kalau Informasinya banyak yang keliru. Ibaratnya, Pedagang Bakso, disuruh menjadi Barista. Bisa Jadi Kopinya rasa Bakso.
Dalam tulisannya (sebelum diedit), DI menyebut bahwa Gus Fawait dan Pak Joko sama-sama bukan Asli Jember. Gus Fawait asli Jombang, Pak Joko asli Kediri. Gus Fawait memang asli Jombang, tapi kecamatan Jombang eks kawedanan Kencong kabupaten Jember bukan kabupaten Jombang. DI tidak tahu kalau di Jember memang ada kecamatan Jombang. Atau bisa jadi Informannya DI yang keliru. Entahlah.
“Konflik P1 dan P2 bisa saling mengadu ke Polisi, bisa-bisa P21.” Dia tidak paham, sebetulnya apa yang terjadi tidak “segawat” dengan apa yang DI pikirkan. Perbedaan pandangan bagi kepala daerah dan wakilnya itu biasa. Tidak sampai lapor melapor. Hanya perkara teknis. Tapi tidak sampai merubah visi dan kecintaannya untuk kabupaten Jember.
Mengamati Jember dari Surabaya itu terlalu Jauh. Kalau lewat Tol butuh waktu 4 Jam dari Jember ke Surabaya. Itupun kalau tidak macet di Klakah, Lumajang. Kecuali dapat info dari temannya di Jember yang keliru tadi. Wajarlah
DI juga membandingkan usia P1 dan P2 yang terpaut cukup jauh. Harusnya, DI melihat visi-misinya. Bukan usianya. Saya baru tahu kalau kemajuan suatu daerah ditentukan oleh usia Kepala Daerahnya. DI mungkin lupa kalau Presiden dan Wakil Presiden kita saat ini beda usianya juga cukup jauh.
DI juga menganggap, penyebab konflik P1 dan P2 sangat klasik. P1 merasa punya banyak suara, P2 merasa banyak keluar biaya. Harusnya sebelum mengatakan seperti itu, DI pegang data anggaran biaya kampanye di Pilkada Jember kemarin. Sehingga tahu rinciannya, tidak langsung klaim, tidak langsung menerima informasi yang bisa jadi informasinya didapatkan dari lawan politik Gus Fawait dan Pak Djos. Menyebut Gus Fawait dari Jombang saja keliru. Apalagi soal Anggaran Pilkada.
DI juga menganggap ada “Mak Comblang” Dalam perjodohan Gus Fawait dan Pak Joko. Dan disebutkan Mak Comblangnya Pak MZA Djalal, Mantan Bupati Jember Dua Periode. Djalal yang masih keluarga dari isteri penulis juga baca artikelnya DI "Bulan Ranjang", bilang ke penulis : Saya suka baca tulisan Pak Dahlan, tapi tulisan ini sampah. Begitu ujar Djalal.
DI tidak tahu kalau Koalisi Gus Fawait Djos itu Gemuk. Koalisi Besar. Ada 15 Partai Koalisi Parlemen dan non Parlemen. Tentu penentuan pasangan calon tidak hanya ditentukan oleh satu orang saja. Melainkan kesepakatan dan atas pertimbangan dari parpol Koalisi. Duh.. Pak DI..!
Walhasil. Saat ini Jember tidak seperti apa yang dipikirkan banyak orang. Memang banyak yang ingin memperkeruh suasana. Wajar, kalah dalam politik pilihannya hanya 2. Bergabung dengan yang menang, atau Oposisi.
DI mestinya membuat tulisan tentang Jember tidak hanya dari satu pihak. Tapi berimbang, agar tidak hanya tahu kekurangannya saja. Kecuali DI bagian dari Oposisi atau hanya berteman dengan tim atau Hendi bacabup yang kalah di Pilkada kemarin. Hehehehe.
fimdalimunthe55@gmail.com